A. Sejarah Munculnya Bani Umayyah
Pada tahun
25 H Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ke tiga menggantikan khalifah Umar bin Khattab yang
wafat. Dan pada tahun 35 H utsman bin affan meninggal karena dibunuh oleh
Abdullah Bin Saba (seorang pendeta yahudi dari yaman yang masuk islam). Maka
tahta pemerintahan khulafaurrasidin jatuh ketangan Ali bin Abhi Thalib sebagai
khalifah yang ke empat(terakhir) dalam kekhalifahan khulafaurrasidin.[1]
Pada masa
pemerintahan khalifah Ali terjadi hal-hal yang tidak di inginkan oleh umat
islam bukan sebab khalifah Ali melainkan situasi dan kehendak sejarah yang
berjalan seperti itu. Ada empat golongan pada masa ini antara lain:
- Golongan Syi`ah yang menyokong penuh pengangkatan Ali bin Abhi thalib sebagai khalifah menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
- Golongan Mu`awiyah bin Abu Sofyan, wali (Gubernur) yang di angkat khalifah utsman di damaskus Syria, yang tidak megakui khalifah Ali dan menganggap Khalifah Ali bersalah dan ikut canpur dalam pembunuhan khalifah Utsman. Golongan Mu`awiyah di Syria mengangkat Mu`awiyah menjadi khalifah pengganti khalifah Utsman bin Affan. Maka terjadilah dua orang khalifah yang satu di madinah (khalifah yang sah),dan tandingannya di Syria ialah Mu`awiyah bin Abu Sofyan.
- Golongan yang ketiga ialah Siti Aisyah Ummul Muminin (ibu seluruh orang muslim) dan diikuti oleh Thalhah bin Zubair. Golongan ini tidak mengakui pengangkatan khalifah Ali karena pengangkatan dengan paksaan tetapi tidak menyalahkan khalifah Ali dalam soal pembunuhan terhadap khalifah Utsman. Maka timbulah peperangan yang disebut Perang Jamal.
- Golongan keempat ialah Abdullah bin Umar anak Umar bin khattab,dan diikuti oleh sahabat yang lain yaitu Muhammad bin Salamah. Utsman bin Zaid,S`ad bin Abi Waqash, Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Salam. Golongan ini bersikaf Netral, mereka lebih menjauhkan diri dari dunia politik.[2][2]
Yang akan
kami bahas disini ialah perselisihan antara Khalifah Ali bin Abhi Thalib dengan
Mu`awiyah bin Abu Sofyan yang akan menimbulkan sejarah yang penting bagi umat
islam yaitu runtuhnya kekhalifahan khulafaurrasidin dan berdirinya daulah Bani
Umayyah.
Pada tahun
37 H terjadilah suatu perang yang sangat terkenal dalam dunia islam yaitu
“Perang Siffin” atau perang saudara, antara pasukan khalifah Ali melawan
pasukan Mu`awiyah di suatu daerah di irak yang dinamakan “siffin’.
Peperangan
ini sangat besar, dipihak khalifah Ali sebanyak 25.000 tentara gugur dan dari
pihak Mu`awiyah sebanyak 45.000 orang wafat. Jalannya peperangan sangat
menguntungkan pasukan Ali hampir seluruh pasukan Mu`awiyah lari kucar-kacir. Akan tetapi mereka
menjalankan siasat, yaitu menyerukan “cease fire” (penghentian tembak
menembak).[3][3]
Mereka
mengikatkan beberapa kitab suci Al-Qur`an diujung tombak mereka dan
mengacungkan sambil meneriakan penghentian tembak menembak dan berhukum kepada
Al-Qur`an. Khalifah Ali pada mulanya tidak mau menerima ajakan ini karena
beliau tahu bahwa hal ini merupakan siasat dari orang yang hampir kalah, minta
menghentikan peperangan untuk sementara menyusun kekuatan kembali. Tetapi
khalifah ali di desak oleh sebagian tentaranya sehingga khalifah ali menerima
tawaran penghentian tembak menembak dan berhentilah peperangan.
Pasukan ali
pulang ke Baghdad dan pasukan Muawiyah ke Damaskus. Maka di susun delegasi
kedua belah pihak untuk melanjutkan perundingan, pihak khalifah Ali di wakili
oleh Abu Musa al-Asyari dan pihak Muawiyah di wakili oleh Amru bin Ash. Amru
bin Ash adalah seorang ahli siasat yang ulung sekali sementara Abu Musa
al-Asyari seorang sahabat nabi yang jujur dan sholeh, maka dari itu delegasi Muawiyah
yang di wakili oleh Amru bin Ash menang dalam tahkim dan akhirnya khalifah Ali
di berhentikan dari jabatannya sebagai khalifah.[4][4] Maka dari itu runtuhlah
kekhalifahan khulafaurrasidin dan berdirinya daulah Bani Umayyah.
B.
Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
1. Lembaga Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
Pada umumnya
lembaga pendidikan Islam dimasa ini diklasifikasikan atas dasar muatan
kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi pengetahuan
agama dan pengetahuan umum. Atas dasar ini, lembaga pendidikan Islam di masa
klasik menurut Charles Michael Stanton[5][5] digolongkan kedalam dua bentuk,
yaitu lembaga pendidikan formal dan nonformal, di mana yang pertama mengajarkan
ilmu pengetahuan agama dan yang kedua mengajarkan pengetahuan umum, termasuk
filsafat. Sementara George Makdisi dalam hal yang sama menyebutnya sebagai
lembaga pendidikan ekslusif (tertutup) dan lembaga pendidikan inklusif
(terbuka). Tertutup artinya hanya mengajarkan pengetahuan agama, dan terbuka
artinya menawarkan pengetahuan umum.
Adapun
lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada masa Bani
Umayyah adalah sebagai berikut:
a.
Shuffah
Pada masa
Rasulullah Saw, shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas
pendidikan[6][6]. Biasanya tempat ini menyediakan
tempat pemondokan bagi pendatang baru dan mereka tergolong miskin. Disini para
siswa diajarkan membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam
dibawah bimbingan langsung dari nabi. Pada masa ini setidaknya telah ada
sembilan shuffah yang tersebar dikota Madinah. Dalam perkembangan berikutnya,
sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran,
astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.
b. Kuttab/Maktab
Kuttab/Maktab
berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan
kataba/maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat dimana dilangsungkan
kegiatan tulis menulis[7][7]. Kebanyakan para ahli pendidikan
Islam sepakat bahwa keduanya merpakan istilah yang sama dalam arti lembaga
pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian
meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar[8][8]. Namun Abdullah Fajar
membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk zaman klasik,
sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern[9][9].
Philip K.
Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di kuttab ini berorientasi kepada
Alquran sebagai suatu textbook. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan
menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah nabi hadist khususnya yang
berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw.
Sejak abad
ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum disamping ilmu agama. Hal ini
terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya helenisme
sehingga banyak membawa perubahan dalam kurikulum pendidikan Islam. Bahkan
dalam perkembangan berikutnya kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang
mengajarkan pengetahuan non agama (secular
learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religious learning)[10][10].
Dengan
adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal
perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya
persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka
terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Mengenai
waktu belajar di kuttab, Mahmud Yunus menyebutkan dimulai hari Sabtu pagi
hingga Kamis siang dengan waktu sebagai berikut:
-
Alquran :
Pagi s.d. Dhuha
-
Menulis :
Dhuha s.d. Dhuhur
-
Gramatikal
Arab, :
Ba’da Dhuhur s.d. Siang
Matematika,
Sejarah.
c.
Halaqah
Halaqah
artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di
mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai
menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya
pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di
rumah-rumah. Kegiatan halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau
mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Oleh karena itu halaqah ini dikelompokan kedalam lembaga pendidikan yang
terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Dilihat dari segi ini, halaqah
dikatagorikan kedalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan setingkat dengan
college.[11][11]
d. Majlis
Istilah
majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia
merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan
berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis
berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan
belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktivitas pembelajaran, sebagai
contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis
Al-Syafi’I artinya majlis yang mengajarkan fiqih imam Syafi’i.
Seiring
denagan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan
transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin
Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut:
-
Majlis
al-Hadits, majlis ini diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang
hadits. Ulama tersebut membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya kepada
murid-muridnya. Majlis ini berlangsung antara 20-30 tahun. Dan jumlah peserta
yang ikut majlis ini mencapai ratusan ribu orang, seperti majlis yang
disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa diikuti oleh 100.000 sampai
120.000 orang.
-
Majlis al-Tadris,
majlis ini biasanya menunjuk majlis selain daripada hadist, seperti majlis
fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam.
-
Majlis
al-Munazharah, majlis ini dipergunakan untuk sarana perdebatan mengenai suatu
masalah oleh para ulama. Menurut Syalabi, khalifah Muawiyah sering mengundang
para ulama untuk berdiskusi di istananya, demikian juga khalifah Al-Ma’mun pada
dinasti Abbasiyah. Diluar istana majlis ini ada yang dilaksanakan secara
kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa kontes terbuka dikalangan
ulama, untuk model ini biasanya hanya dipakai untuk mencari popularitas ulama
saja.
-
Majlis
al-Muzakarah, majlis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar
hadist. Majlis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling
mengingat serta mengulang pelajaran yang sudah diberikan sambil menunggu
kehadiran guru. Pada perkembangan berikutnya, majlis al-Muzakarah ini dibedakan
berdasarkan materi yang didiskusikan, yaitu meliputi: sanad hadits, materi
hadits, perawi hadits, hadits-hadist dho’if korelasi hadits dengan bidang ilmu
tertentu dan kitab-kitab musnad.
-
Majlis
al-Syu’ara, majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair, dan sering dipakai
untuk kontes para ahli syair.
-
Majlis
al-Adab, majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi
puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal.
-
Majlis
al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari
keputusan suatu masalah dibidang hokum kemudian difatwakan. Disebut juga majlis
al-Nazar karena karakteristik majlis ini adalah perdebatan antara ulama fiqih
atau hukum Islam.
e.
Masjid
Semenjak
berdirinya pada masa Nabi Muhammad Saw, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan
informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik yang menyangkut pendidikan
maupun sosial ekonomi. Namun yang lebih penting adalah sebagai lembaga
pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai
sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam.[12][12]
Perkembangan
masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan, urgensi masyarakat
kepada mesjid menjadi sangat kompleks. Hal ini menyebabkan karakteristik masjid
berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan
masjid biasa.[13][13] Jumlah jami lebih sedikit dibanding
dengan jumlah masjid. Di Baghdad hanya ada 6 jami, sedangkan masjid jumlahnya
mencapai ratusan, demikian juga di Damaskus, sedikit sekali jumlah jami dari
pada masjid. Namun di Cairo jumlah jami cukup banyak. Jami maupun masjid
keduanya digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami memiliki
halaqah-halaqah, majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah (menurut Abdul Fajar,
zawiyah sama dengan kuttab dalam hal pendidikan dasar, namun muatan kurikulum
lebih tinggi karena memasukan pendidikan moral dan spiritual atau tasawuf).
Ada
perbedaan penting antara jami dengan masjid. Jami dikelola dibawah otoritas
penguasa atau khalifah memiliki otoritas yang kuat dalam hal pengelolaan
seluruh aktivitas jami, seperti kurikulum tenaga pengajar, pembiayaan dan
lain-lain. Sementara masjid tidak berhubungan dengan kekuasaan. Namun demikian,
baik jami maupun masjid termasuk lembaga pendidikan setingkat college.
Kurikulum
pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh
pejabat-pejabat pemerintah, seperti qadhi, khotib, dan imam masjid. Melihat
kaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid
merupakan lembaga pendidikan formal.[14][14]
f.
Khan
Khan
biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau
sebagai sarana komersial yang banyak memiliki toko, seperti khan al-Narsi yang
berlokasi di alun-alun Karkh di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi
sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam
pada suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij
di Suwaiqat Ghalib dekat makam Suraij. Disamping fungsi itu, khan juga
digunakan sebagai sarana untuk belajar privat.
g. Ribath
Ribath
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah. Juga memberikan
perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang syaikh yang
terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.
h. Rumah-rumah Ulama
Rumah
sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar. Namun para
ulama dizaman klasik (bani Umayyah dan bani Abbasiyah) banyak yang
mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya disebabkan karena ulama yang
bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran di masjid, sedangkan para
pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya[15][15].
i.
Toko-toko
Buku dan perpustakaan
Toko-toko
buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada awalnya
memang hanya menjual buku-buku, tapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi
dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dilaksanakan disitu. Disamping toko
buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi
keilmuan islam.
j.
Rumah Sakit
Rumah sakit
pada masa bani Umayyah bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan
perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, penelitian dan percobaan dalam bidang
kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan
obat-obatan berkembang cukup pesat.
k. Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat
Tinggal Badawi)
Semenjak
berkembang luasnya Islam, bahasa Arab banyak digunakan sebagai bahasa pengantar
oleh bangsa-bangsa diluar Arab yang beragama Islam. Namun, bahasa Arab disitu
cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih
melafazkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga bahasa
Arab menjadhi bahasa pasaran. Namun tidak demikian halnya dibadiah-badiah,
mereka tetep mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian
badiah-badiah ini merupakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni.
Oleh karena
itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk sumber belajar pelajaran bahasa Arab
yang asli dan murni, sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para
ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu
bahasa kesusastraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah telah berfungsi sebagai
lembaga pendidikan.
2. Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Bani Umayyah
Runtuhnya
kerajaan Romawi pada abad ke-5 M merupakan awal dari “zaman pertengahan yang
gelap”, yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban. Sementara di timur
(negeri-negeri Islam) peradaban mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga
Islam selama kurang lebih 5 abad menjadi mercusuar dunia dalam segala aspek.
Di antara
penyebab kemajuan tersebut adalah adanya asimilasi budaya antar bangsa.
Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada zaman sebelum bani Umayyah mulai
ditinggalkan dan diganti dengan prinsip egaliterisme dalam segala aspek dengan
diperkuat dasar-dasar agama sebagai sendi Negara.
Pada masa
dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. Kajian ilmu yang
ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir,
Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik
dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan
Islam menggunakan kata Al-Maddah
untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan
serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat
tertentu.
Sejalan
dengan perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya
lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa.
Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran,
proses belajar dan mengajar serta evaluasi. Berikut ini adalah macam-macam
kurikulum yang berkembang pada masa bani Umayyah:
a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat
kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk
kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum
yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan,
kecuali Alquran yang terdapat pada kurikulum. Kedua, kesukaran diantara membedakan fase-fase pendidikan dan
lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk
belajar pada setiap lembaga pendidikan.
Sebelum
berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak
hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah.[16][16] Tidak ada kurikulum khusus yang
diikuti oleh seluruh umat Islam. Dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca
dan menulis disamping Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.[17][17]
Umumnya
pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang. Baik di
Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran
diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam keadaan
sederhana, yaitu: belajar membaca dan menulis, membaca Al-Qur’an dan
menghafalnya, belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat,
puasa dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi
terdiri dari: Al-Qur’an dan tafsirannya, hadis dan mengumpulkannya, serta fiqih (tasri’).
b. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum
pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mau
mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran
tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti
kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah
dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota
ke kota lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang
dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk
mengajarkan mereka mengenai Alquran dan agama.[18][18] Kurikulum pendidikan tingkat ini
dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah).
Kedua macam
kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan
pemikiran Islam. Kurikulum pertama adalah sejalan dengan fase dimana dunia
Islam mempersiapkan diri untuk mendalami agama, menyiarkan dan
mempertahankannya. Namun perhatian pada agama ini tidaklah terbatas pada ilmu
agama an sich, tetrapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah,
hadits dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir
Alquran, hadits, fiqih dan ushul fiqih, nahwu saraf, balaghah, bahasa dan
sastranya.[19][19]
Kurikulum
kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan cirri khas fase kedua
perkembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan
dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum
untuk pendidikan jenis ini mantiq, ilmu alam dan kimia, music, ilmu-ilmu pasti,
ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan
dan kedokteran. Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
-
Disiplin-disiplin
umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan
puisi) ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia,
sulap, dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian dan
perternakan, serta biografi dan kisah.[20][20]
-
Ilmu-ilmu
Filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, music,
aritmatika, dan hokum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan antropologi zat,
bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan
elemen-elemen meterologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya,
botani, zoology, anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi,
manusia sebagai mikro kosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan
jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi, teologi-doktrin esoteris
Islam, susunan dan spiritual, serta ilmu-ilmu alam ghaib.
Masuknya
ilmu-ilmu asing yang berasal dri tradisi Hellenistik ke dalam kurikulum
pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan
dimasjid, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di
perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait al-Hikmah. Syalabi
menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan,
diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.
3. Pendidik (guru) Pada Masa Bani Umayyah
Dalam
pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus
mulia. Keberhasilan seorang guru dalam mengemban tugasnya, baik sebai murabbi
maupun sebagai agen perubahan dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh
kualifikasi dan kompetensi yang mereka miliki.
a.
Kompetensi
Mengajar Guru Pada Masa Bani Umayyah
Menurut Mas’ud
Khasan Abdul Qohar (1990: 129) Kompetensi adalah kekuasaan, wewenang atau hak
yang didasarkan pada peraturan tertentu. Sedangkan kompetensi mengajar menurut
Uzer Utsman (1992) adalah wewenang guru untuk melaksanakan tugas mengajar
berdasarkan persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya adalah syarat yang
berkaitan dengan fisik dan nonfisik.
Menurut
Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati, 1997; 83) bahwa syarat untuk bisa menjadi
seorang guru pada masa kekhalifahan bani Umayyah secara umum dapat digolongkan
ke dalam 2 syarat:
§ Syarat Fisik: bentuk badannya bagus, manis muka
(selalu berseri-seri), lebar dahinya dan bermuka bersih.
§ Syarat Psikis: berakal sehat, hatinya beradab, tajam
pemahamannya, adil terhadap siswa, bersifat perwira, sabar dan tidak mudah
marah, bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya, perkataannya jelas dan
mudah dipahami, dapat memilih perkataan yang baik dan mulia, serta menjauhi
perbuatan yang tidak terpuji.
b. Pranata Sosial Guru
Menurut
Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat dklasifikasikan kedalam 3
golongan adalah:
·
Guru-guru
yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab), para mu’allim kuttab
(guru sekolah anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini
disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot.
Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di bidang
sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab
yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdil hamid
Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.
·
Para guru
yang mengajar para putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan muallim al-kuttab,
para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para
ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena
untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim,
berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.
·
Para guru
yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah, guru-guru dari
golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di
hadapan masyarakat.[21][21] Hal ini disebabkan penguasa mereka
terhadap ilmu pengetahuan yang begit mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara
mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya.
Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat,
diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik
Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.
Guru-guru pada masa ini selalu dikelilingi oleh para
siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan
mendengarkan langsung kajian yang dibawakan gurunya. Sudah menjadi tradisi
Islam pada masa klasik (Umayyah-Abbasiyah) bahwa guru tidak pernah kapan murid
harus selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah meny elesaikan kitab
yang dikajinya (khatam). Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja
dan kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus
yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu.
Guru pada
masa bani Umayyah memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan anak,
mulai dari menentukan perencanaan sampai melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan apabila pada masa ini disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru pada masa ini secara teratur
sudah melaksanakan tugas dan memberikan secara sungguh-sungguh dan
memperlakukan murid secara adil tanpa ada diskriminasi.
4. Peserta Didik (Murid) Pada Masa Bani Umayyah
Anak didik
merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang berpengaruh terhadap
pencapaian tujuan pendidikan. Tanpa anak didik, pengajaran tidak akan terjadi.
Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term student (siswa); yaitu
tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang berarti murid, dan talib (seeker of
knowledge), (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang menuntut ilmu-ilmu
(agama), pelajar atau mahasiswa.
a. Pengertian dan Batasan Murid
Murid adalah
anak yang sedang berguru, yang memperoleh pendidikn dasar dari satu lembaga
pendidikan.
Di awal
perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika Rasulullah
masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah Saw.
Dalam
perkembangan selanjutnya, kaum Muslim memerlukan tempat khusus untuk kegiatan
belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai tempat pendidikan
dasar.[22][22]
Di kuttab
para murid mendapatkan pengajaran berupa keterampilan dasar, seperti membaca
dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama.[23][23] Menurut Hudgson, pendidikan tingkat
dasar adalah tempat bagi murid untuk belajar membaca dan menulis. Sementara
menurut Stanton, pada abad pertama hijriyah, pelajaran di sekolah tingkat
rendah difokuskan pada menulis dan membaca. Kemudian pada abad berikutnya,
pelajaran berkembang dengan diajarkan ilmu keagamaan, aritmatika, tata bahasa,
syair dan sejarah.
Pada masa
ini, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang yang mau
belajar di kuttab. Para murid yang masuk kedalam pendidikan dasar ini
bervariasi. Ada murid yang memasuki kuttab berumur lima tahun, ada yang berumur
tujuh tahun, bahkan ada yang berumur sepuluh tahun. Bervariasinya umur murid
yang memasuki kuttab, tampaknya terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu
bukan saja dari segi fisik dan mental, tetapi juga dari segi ekonomi.
b. Biaya dan Lama Belajar
Biaya selama
di kuttab pada dasarnya dibebankan kepada keluarga murid. Orang tua murid
membayar dengan sejumlah uang yang dibayar pada setiap minggu dan setiap bulan.
Terkadang pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai
pengganti uang.[24][24] Bagi murid yang berasal dari
keluarga miskin, diberi kesempatan belajar secara cuma-cuma.[25][25] Selain itu ada juga orang tua murid
yang menitipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk biaya selama anaknya
belajar, dia memberikan kepada guru tersebut sejumlah harta/biaya.
Lama belajar
di kuttab tergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang cerdas dan rajin
dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relative singkat. Sebaliknya, anak
yang kurang cerdas dan malas memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan
pelajaran. Meskipn demikian umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih lima
tahun.[26][26] Ukuran yang dijadikan dasar untuk
kelulusan adalah murid menghafal Alquran.
c. Keadaan Murid
Menurut
Mahmud Yunus, para murid di kuttab belajar enam hari dalam seminggu. Belajar
dimulai pada hari sabtu dan berakhir pada hari kamis, waktu belajar dimulai
pagi hari dan berakhir setelah selesai shalat Ashar. Biasanya setelah selesai
shalat zuhur para murid pulang ke rumah untuk makan.
Dari uraian
tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada siang hari lebih banyak bergaul
dengan guru dan para murid lainnya di kuttab. Adapun murid yng berada dalam
pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dan
murid-murid lain harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena itu
dapat diasumsikan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat
selain orang tua.
5. Pendanaan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah
Kelangsungan
kegiatan suatu lembaga pendidikan terkait dengan bermacam faktor. Dana adalah
salah satunya dan dianggap persoalan penting bagi keberlangsungan suatu lembaga
pendidikan agar berbagai aktivitas dapat dialkukan dengan semangat yang tinggi
dan lebih beragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbobot.
a.
Sumber Biaya
Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
§ Subsidi Pemerintah/Negara
Para
penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu
pengetahuan sejak masa khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi
berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk
lembaga-lembaganya. As-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika nabi
berada di Madinah tersebar keluar madinah tersebar luas keluar madinah sejalan
dengan persebaran masjid.
Di
daerah-daerah baru pada masa bani Umayyah dimana bahasa Arab bukan bahasa
pertama dan Alquran belm dikenal, pembangunan lembaga pendidikan Islam, seperti
kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur, sehingga
biaya pembangunan ditanggung pemerintah.
Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara
sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar kepada murid
yang berhak menerimanya.
§ Wakaf
Wakaf
merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan dengan barang
benda. Sebagai bagian dari sistem pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam
lembaga yang terorganisir dengan baik dan menjadi mode pada masa keemasan
peradaban Islam (pada masa bani Abbasiyah).
Pemberian
wakaf tampaknya memiliki kekuasaan yang luas dan otoritas yang kuat dalam
menentukan segala sesuatu berdasarkan dokumen wakaf yang di buat secara formal.
Dokumen ini menggambarkan materi kekayaan yang menjadi wakaf dan mencantumkan
cara penggunaan uang yang dihasilkan dari investasi penyewaan atau penjualan
aset tersebut. Di dalamnya pemberi wakaf dapat menetapkan criteria syaikh dan
pengajar yang harus dipenuhi, kurikulum yang digunakan bahkan madhab yang
dianut. Disamping itu pemberi wakap menentukan satu atau beberapa orang yang
bertanggung jawab untuk mengelola wakaf tersebut. Walau demikian, dokumen wakaf
dibuat sangat hati-hati karena tidak boleh diubah setelah ditanda tangani.
Pemberi wakaf pun tidak boleh mengambil sedikit juga aset atau penghasilan
wakaf tersebut.
Karena wakaf
ini kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti tanah pertanian,
rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar, dan sebagainya, dana yang
dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi pada waktu itu. Oleh
karenanya, tingkat kehidupan para pelajar dan pengajar yang di biayai oleh
hasil wakaf berubah-rubah dari waktu ke waktu. Walau begitu peran wakaf sangat
membantu pelaksanaan pendidikan. Dengan wakaf, umat Islam mendapatkan kemudahan
dalam menuntut ilmu. Para pelajar dan orang tua tidak terbebani dengan berbagai
macam biaya yang diambil untuk kegiatan pendidikan.
Contoh
lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistem wakaf ini sangat banyak
sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn Hasanawaih Al-Kurdi, seorang
bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 masjid dengan akademi
didalamnya. Masing-masing masjid memiliki asrama (Masjid khan), pembiayaannya
berasal dari wakaf. Wakaf Abdul Latief Al-Mansyur berupa pondok dan toko untuk
lima orang anak yatim serta pengajarnya, mereka belajar membaca dan menghafal
Alquran.
§ Orang Tua
Biaya
pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel
tergantung pada kondisi orang tua murid. Biaya ini juga mereflesikan kemajuan
siswa. Sebab, disamping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika
siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah
sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai
dengan keadaan keluarga siswa tersebut.
Biaya
pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran
ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal
ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi dilakukan dengan ikhlas.
Biaya pendidikan nonagama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai 1000 dirham
pertahun. Kadang-kadang pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan
sebagai pengganti uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan.
Orang tua
yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau hartawan, tentu akan
mengeluarkan harta yang lebih banyak, ditambah dengan berbagai fasilitas lain,
seperti tambahan buku-buku dan perlengkapan lainnya.
§ Siswa
Seorang
ilmuan yang mengajar dimasjid atau lembaga pendidikan lain diperbolehkan
memungut uang dari siswanya. Biasanya jumlahnya disepakati antara guru dan
siswa tersebut serta dibayar pada masa awal belajar. Ibrahim Al-Zadjdjadi
misalnya, memperoleh uang dari pekerjaannya sebanyak 1,5 dirham tiap hari.
Kemudian ia pergi kepada Al-Mubarrid dan membayar honornya sejumlah dua pertiga
dari penghasilannya tersebut, ditambah syarat lain, yaitu 1 dirham setiap hari
sampai maut memisahkan mereka.
Para
penuntut ilmu yang berasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas
inisiatif sendiri sering bekerja ditengah-tengah masyarakat untuk membiayai
pendidikannya. Pekerjaan yang mereka lakukan bervariasi tergantung kesempatan
dan kebutuhan mereka. Ada juga pelajar tidak tetap yang terdiri dari pekerja.
Orang-orang ini sendiri menaggung biaya pendidikan yang diperlukan.
§ Sumber Lain/Perorangan
Pandangan
ilmu agama, terutama Alquran harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk
ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan financial
dari siapa pun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidikan dan
kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri diluar pekerjaan mengajar. Abu
Al-Abbas Al-Ashamm, salah seorang ulama besar dan ahli hadis di Khurasan tidak
mau menerima upah ketika mengajarkan hadits. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya
dari hasil usaha sendiri.[27][27]
Literatur Arab
menceritakan banyak sekali cerita-cerita yang menggambarkan bahwa para pengajar
dan pendidik yang miskin sekalipun duduk memberikan pelajaran kepada masyarakat
tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun. Kamaluddin Abu Al-Barakat Al-Anbary,
seorang ahli fiqih dan nahwu, misalnya senantiasa membukakan pintu rumahnya
bagi para penuntut ilmu, semata-mata karena Allah. Bahkan guru-guru yang
mengajar kanak-kanak pun tidak menerima bayaran apa-apa seperti Al-Dhahak ibn
Muzahim dan Abdullah ibn Harits, bahkan mereka bersedia membiayai sendiri
kegiatan pendidikan tersebut.
Di samping
para pengajar yang mempunyai keinginan dan kesadaran diatas, banyak para
hartawan dan dermawan yang mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai berbagai
lembaga pendidikan dan kegiatannya.
b. Pola Pengelolaan Dana Pendidikan
§ Sentralisasi
Yang
dimaksud dengan sentralisasi di sini adalah dana pendidikan direncanakan dan
dikelola oleh birokrat atau pemegang otoritas kekuasaan, bukan lembaga
pendidikan yang bersangkutan.
Sejarah
pendidikan Islam yang panjang menunjukan bahwa lembaga-lembaga pendidikan
formal yang didanai oleh Negara, tidak memiliki otoritas untuk untuk mengatur
sumber keuangan yang memang tidak dimilikinya. Semua keperluan pendidikan akan
dipenuhi oleh pemerintah melalui khas Negara atau Bait Al-Mal. Sehingga, nafas
kehidupan lembaga endidikan tersebut akan mengembang atau mengempis sesuai
dengan kebijakan pemerintah terhadap sector pendidikan.
§ Desentralisasi
Sistem
desentralisasi keuangan pendidikan merupakan pola manajemen keuangan pendidikan
yang bukan hanya berorientasi pada kebutuhan rill lembaga tersebut dalam segala
perubahannya, tapi juga pengelolaannya tidak memiliki otoritas mutlak dalam kerjanya
(fleksibel dan partisipatif).
Pola ini
dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
-
Tradisional
Dalam corak
ini, biaya yang diperoleh biasanya dipakai tanpa perencanaan yang jelas dan
jauh terarah. Berbagai keperluan operasional pendidikan akan dapat
terpenuhi ketika ada pemasukan dari
sumber-sumber biaya, seperti orang tua siswa, murid, dermawan, atau pengajar
itu sendiri. Tatkala sumber-sumber biaya tersebut kering, maka tertahanlah
berbagai kebutuhan pendidikan itu.
Lembaga-lembaga
pendidikan nonformal banyak yang memakai pola pengelolaan desentralisasi dengan
corak ini. Kuttab yang tersebar di berbagai macam lokasi misalnya, banyak yang
diselenggarakan secara sederhana tanpa campur tangan pemerintah dengan roti
sebagai pemasukan ditambah sedikit uang pada masa khatam Alquran. Para ulama
yang menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar pun tidak pernah mengelola
input sukarela ditangannya dengan perencanaan dan manajemen yang terarah. Ia
hanya akan memenuhi kepentingan operasional pendidikannya saat itu dengan dana
yang tersedia, atau ditambah dengan dana dari kantongnya sendiri maupun
tambahan yang dicari.
-
Non-Tradisional
Corak ini
merupakan antisintesis corak tradisional. Dana yang masuk dikelola melalui
rencana yang terarah sesuai kondisi lembaga pendidikan bersangkutan dan oleh
penyelenggara lembaga pendidikan tersebut.
Sistem wakaf
dapat menjadi contoh corak ini. Jika dalam dokumennya pemberi wakaf tidak
mengharuskan dirinya, keluarganya, atau orang-orang tertentu diluar penyelenggara
lembaga pendidikan tersebutsebagai pengelola wakaf, juga ketentuan-ketentuan
ketat pengguna hasil dana wakaf yang tidak fleksibel hingga tidak sesuai dengan
berbagai perubahan kondisi lembaga pendidikan tersebut.
[2][2] Abbas, Sirajuddin, KH. I’tiqad
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008. Hal 216.
[5][5] Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: the Classical
Period, AD 700-1300, Maryland, 1990, hlm 122.
[6][6] Abuddin Nata
(terj.), Pemikiran Pendidikan Islam pada
Abad Pertengahan, Canada: Montreal, 2000, hlm. 12.
[16][16] Untuk mempermudah pengklasifikasian,
penulis menghindar dari polemic apakah kuttab itu pendidikan rendah dan halaqah
adalah pendidikan tinggi. Disini kuttab diidentikan dengan pendidikan rendah
atau untuk anak-anak dan halaqah sebagai pendidikan tinggi.
[18][18]
Fazlur Rahman, Islam, Bandung:
Penerbit Pustaka, 1994, hlm. 264.
[19][19]
Zuharini, op. cit., hlm. 104.
[20][20]
Mehdi Nakoosten, Kontribusi Islam atas
Dunia Intelektual Barat: Deskriftif Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya:
Risalah Gusti, 1996, hlm. 73.
[24][24]
Ahmad Sjalaby, Sejarah Pendidikan Islam, ter.
Muchtar Yahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 231.
[25][25] Asma
Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 32.
[26][26]
Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 47.
[27][27]
Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 223.
No comments:
Post a Comment