PENDAHULUAN
Klarifikasi
Istilah dan Pembatasan Pembahasan
Ada beberapa
terminologi yang tampaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu, sebelum
menguraikan makalah ini lebih lanjut. Menguraikan term-term itu dianggap perlu
karena diasumsikan akan memberikan kesamaan pandangan dalam menginterpretasi
dan mengeksplanasi makalah ini. Pertama, sistem pendidikan. Istilah
sistem pendidikan biasanya dipahami sebagai suatu pola menyeluruh dari proses
pendidikan dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen, dan organisasi yang memindahkan
( transver ) pengetahuan dan warisan kebudayaan serta sejarah
kemanusiaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual, dan intelektual.
Menurut Hasan Langgulung, sistem pendidikan seperti demikian dalam literatur
pendidikan Islam klasik tidak pernah dujumpai. Sebab, sistem pendidikan itu
tidak terpisah dari sistem-sistem yang lain, seperti sistem politik (al-nizham
al-siyasi), sistem tatalaksana (al-nizham al-idari), sistem keuangan
(al-nizham al-mali), sistem kehakiman (al-nizham al-qadhi), dan
lain-lain. Sistem politik mempunyai program pendidikannya sendiri untuk
membentuk kader-kader politik, begitu juga sistem-sistem tatalaksana, keuangan,
sosial, dan sebagainya.. Jadi, sistem pendidikan Islam sebagai sistem yang
berdiri sendiri merupakan satu fenomena baru dalam sejarah Islam. [1]
Oleh karena
sistem pendidikan itu tidak berdiri sendiri maka untuk melihatnya dibutuhkan
informasi yang menyajikan konstruk sosial, politik, dan keagamaan yang terjadi
pada masa-masa tertentu sehingga menunjukkan adanya hubungan fungsional dan
substansial antara dunia pendidikan dengan keadaan yang terjadi ketika itu.
Sungguhpun demikian, dalam makalah ini hanya akan dipaparkan konstruksi
masyarakat sejauh ia memiliki korelasi yang signifikan dengan pembahasan.
Kedua, metode pendidikan Islam. Metode
pendidikan sesungguhnya dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk: metode
perolehan (acquisition) dan metode pemindahan atau penyampaian (transmission).
Metode perolehan lebih ditekankan sebagai cara yang ditempuh oleh peserta didik
(student) ketika mengikuti proses pendidikan, sedangkan metode
pemindahan diasosiasikan sebagai cara pengajaran yang dilakukan oleh guru (teacher).
Dengan demikian, metode-metode perolehan ditekankan kepada peserta didik
sedangkan metode pemindahan dititikberatkan kepada guru. Pada makalah ini
dibatasi pada bentuk yang terakhir, yakni metode pemindahan. Sebab, dalam
banyak hal, kecenderungan pemikiran pendidikan Islam klasik lebih
memprioritaskan kepada guru sebagai subyek pendidikan, bukan kepada murid. Guru
dijadikan faktor penentu untuk menilai tingkat keberhasilan pendidikan Islam. Sebagai
konsekwensinya, konsep pendidikan Islam klasik lebih banyak memperhatikan
kepada guru.[2]
Ketiga, kurikulum. Kurikulum pendidikan
Islam klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidikan
modern. Pada kurikulum pendidikan modern, seperti kurikulum pendidikan nasional
di Indonesia, ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri
dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisai dan strategi.[3] Pengertian dan komponen demikian agaknya
sangat sulit ditemukan dalam literatur-literatur kependidikan Islam klasik.
Untuk itu, kurikulum pendidikan Islam klasik dalam makalah ini dipahami dengan
subyek-subyek ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan.
Keempat, masa klasik. Terminologi masa
klasik ini memberi membuka peluang untuk diperdebatkan : sejak dan hingga
kapan(?). Apakah dalam kacamata dunia muslim atau penulis barat. Sebab, para
penulis Barat mengidentikkan abad ke-7 hingga abad ke-12/13 M. sebagai zaman
kegelapan (dark age); sementara para penulis musllim mengidentikkannya
dengan masa keemasan (al-‘ashr al-dzahabi).[4] Untuk memperoleh kejelasan batasan waktu,
penulis membatasi masa klasik dalam kacamata penulis muslim, seperti batasan
yang dilakukan Harun Nasution. Ia mengklasifikasi sejarah Islam pada tiga masa:
[a] periode klasik dimulai tahun 650 hingga 1250 M., sejak Islam lahir hingga
kehancuran Baghdad [b] periode pertengahan sejak tahun 1250 hingga 1800 M.,
sejak Bghdad hancur hingga munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan [c]
periode modern, mulai tahun 1800 M. hingga sekarang.[5] Dengan demikian, masa klasik dalam pembahasan
makalah in dibatasi sejak masa Rasulullah hingga Baghdad dihancurkan oleh
Hulago Khan, tepatnya tanggal 10 Pebruari 1258 M.[6] Untuk memudahkan dalam uraian, makalah ini
akan menjadi beberapa periode, yaitu periode Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin,
Dinasti Umayyah, dan Dinasti ‘Abbasiyah.
PENDIDIKAN
ISLAM PADA MASA KLASIK:
Pendidikan
Islam Masa Rasulullah [611-632 M./12 SH.-11 H.]
Pendidikan
pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan
periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak Nabi diutus sebagai rasul
hingga hijrah ke Madinah—kurang lebih sejak tahun 611-622 M. atau selama 12
tahun 5 bulan 21 hari–, sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Nabi.
Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan
materi-materi pendidikan, selain Nabi. Nabi melakukan pendidikan dengan cara
sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, disamping dengan berpidato dan
ceramah ditempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi
pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat al-Qur’an sejumlah 93
surat[7] dan petunjuk-petunjuknya (baca: sunnah dan
hadist).[8]
Sebelum
kelahiran Islam, masa jahiliyah, “institusi” pendidikan kuttab telah
berdiri.[9] Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan
menulis kepada masyarakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada masyarakat
Himyariyin.[10] Adapun orang yang pertama kali belajar
membaca dan menulis diantara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibn Umayah dan Abu
Qais ibn ‘Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn ‘Abd al-Malik.
Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis.[11] Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami
ketika Nabi menyiarkan ajaran Islam (kurang lebih tahun 610-an M.), di
masyarakat Quraisy, baru ada 17 laki-laki[12] yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.[13]
Secara umum,
materi al-Quran dan petuah-petuah Rasul itu menerangkan tentang kajian
keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada
Allah, para rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal ibadah, yaitu shalat.
Zakat sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada
masa itu lebih difahami dengan sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim.
Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia bertingkah laku
dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun materi-materi scientific
belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan
dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam
raya.[14]
Pada periode
di Madinah, tahun 622-632 M. atau tahun 1-11 H., usaha pendidikan Nabi yang
pertama adalah membangun ‘institusi’ masjid. Melalui pendidikan masjid ini,
Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia memperkuat persatuan di
antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa permusuhan, terutama antar penduduk
Anshar dan penduduk Muhajirin. Pada periode ini, ayat-ayat al-Quran yang
diterima sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi al-Quran.
Secara umum,
materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan, pendidikan
akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang berkaitan dengan
kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari keimanan dan ibadah, seperti
shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada
penguatan basis mental yang telah dilakukan pada periode Makkah. Pendidikan
kesehatan jasmani lebih ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang
dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna wudlu, shalat, puasa, dan haji.
Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi pada bidang
sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pendidikan oleh rasul
tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana,
perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.[15]
Metode yang
dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab dengan perasaan
yang halus dan didukung bukti-bukti rasional dan ilmiah. Batasan rasional dan
ilmiah di sini dipahami menurut kemampuan pikiran orang yang diajak dialog.
Metode pendidikan yang dipakai pada materi ibadah biasanya menggunakan metode
peneladanan, yakni Nabi memberikan contoh dan petunjuk serta amalan yang jelas
sehingga masyarakat mudah untuk menirunya. Sedangkan pada bidang akhlak, Nabi
membacakan ayat-ayat al-Quran yang berisi kisah-kisah umat terdahulu yang
kemudian dijabarkan makna dari kisah-kisah itu. Sungguhpun demikian, pada
materi akhlak ini, Nabi lebih menitikberatkan pada metode peneladanan. Nabi
tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan dan keagungan,
baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tindakannya.[16]
Pendidikan
Islam Masa Khulafa al-Rasyidin [632-661 M./12-41 H.]
Sistem
pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak
dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang
turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat
yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis pendidikan masing-masing,
sehingga, pada masa Abu Bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab
mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini
terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin
kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi
sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Quran
merupakan fardlu kifayah.[17]
Menurut
Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di kuttab mereka
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Di
masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang
membedakan di antara pendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat
menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat
tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam
dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.[18]
Pada lembaga
pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran
dilakukan secara seorang demi seorang–mungkin dalam tradisi pesantren, metode
itu biasa disebut sorogan,[19] sedangkan pendidikan di masjid tingkat
tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh para
pelajar secara bersama-sama.[20]
Pusat-pusat
pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak hanya di Madinah, tetapi juga
menyebar di berbagai kota, seperti kota Makkah dan Madinah [Hijaz], kota
Bashrah dan Kufah [Irak], kota Damsyik dan Palestina [Syam], dan kota Fistat
[Mesir]. Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan Islam berkembang secara
cepat.[21]
Materi
pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah al-Rasyidin sebelum masa Umar ibn
Khattab (w. 32 H. /644 M.), unruk kuttab, adalah [a] belajar membaca dan
menulis, [b] membaca al-Qur’an dan menghafalnya, [c] belajar pokok–pokok agama
Islam, seperti cara wudhu’, shalat, puasa, dan sebagainya. Ketika Umar ibn
Khattab diangkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota
agar anak-anak diajarkan [a] berenang, [b] mengendarai onta, [c] memanah, [d]
membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa.[22] Sedangkan materi pendidikan pada tingkat
menengah dan tinggi terdiri dari [a] al-Qur’an dan tafsirnya, [b] hadits dan
mengumpulkannya, [c] dan fiqh (tasyri).[23] Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu
filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini di
mungkinkan mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam
pengembangan wawasan keislaman yang lebih di fokuskan pada pemahaman al-Quran
dan Hadits secara literal.
Pendidikan
Islam Masa Dinasti Umayyah [41-132 H. / 661-750 M.]
Secara
esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan
dan perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya
kurang memperlihatkan pada perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan
berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki
pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh
pemerintah hampir-hampir tak ditemukan. Jadi, sistem pendidikan Islam ketika
itu masih berjalan secara alamiah.
Ada dinamika
tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam masa ini, yakni
dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah bani Umayyah–yang
bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang
berbuat dosa besar–,[24] wacana kalam tidak dapat dihindari dari
perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh
faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah
kelompok yang memiliki paradigma berfikir secara mandiri.
Oleh karena
kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan
maka didunia pendidikan, terutama didunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya
masing-masing. Sastra Arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah),
dan seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan
tempat balai-balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki
oleh kalangan sastrawan dan ulama-ulama terkemuka. Menurut Muhammad ‘Athiyah
al-abrasyi,
“Balai-balai
pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan;seseorang
yang masuk dimana khalifah hadir, mestilah berpakaian necis, bersih dan rapi,
duduk ditempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak dan tidak meludah
dan tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanyai. Ia tidak boleh
bersuara keras dan harus belajar menjadi pendengar yang baik, sebagaiman ia
harus belajar bertukar kata dengan sopan dan memberi kesempatan kepada si
pembicara menjelaskan pembicaraannya, serta menghindari penggunaan kata-kata
yang kasar dan gelak-tertawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan
seperti ini, disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan,
dan diperdebatkan”.[25]
Pada zaman
ini, juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa
lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang
mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu
tatalaksana, dan seni bangunan. Pada umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas
kepada orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara
dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali
melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid, cucu dari Muawiyah.[26]
Selain
beberapa materi di atas, pada masa ini juga tampaknya masih melanggengkan
ilmu-ilmu yang diletakkan pada masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir. Ilmu ini
semakin menjadi niscaya dan memiliki makna yang strategis. Di samping karena
faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa
konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyak orang yang masuk
Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa al-Quran dan pemaknaan al-Quran
yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran al-Quran juga
disebabkan oleh karena faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah
Israiliyat dan Nasraniyat.
Bersamaan
dengan itu, kemajuan yang diraih dalam dunia pendidikan pada saat itu adalah
dikembangkannya ilmu nahwu yang digunakan untuk memberikan tanda baca,
pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan bahasa. Sungguhpun terjadi
perbedaan mengenai penyusun ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmu ini menjadi ciri
kemajuan tersendiri pada masa ini.[27]
Selain
disiplin ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits pada masa ini juga mendapat
perhatian secara serius. Periwayatan hadits sehingga dapat
dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian
luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadits,
belum mencapai pada tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz yang
memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101 H./717-720 M., pernah mengirim
surat pada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang
lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits-hadits. Akan tetapi, hingga
dengan masa akhir kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun
demikian, perintah Umar ibn al-Aziz telah melahirkan metode pendidikan
alternatif, yakni para ulama mencari hadits ke berbagai tempat dan orang yang
dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.
Di bidang
hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
aliran ahli al-ra’y dan aliran ahl al-hadits. Kelompok aliran pertama
mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi (baca: qiyas) bila
terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya. Aliran ini berkembang di Irak
yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78 H./697 M.), Alqamah ibn Qais
(w. 62 H./681 M.), Masruq al-Ajda’ (w. 63 H./682 M.), al-Aswad ibn Yazid (w. 95
H./913 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrahim al-Nakhai (w. 95 H./913 M.), dan
Amr ibn Syurahbil al-Sya’by (w. 104 H./722 M.). Sesudah itu digantikan oleh
Hammad ibn Abu Sulaiman (w. 120 H./737 M.), yang kemudian menjadi guru Abu
Hanifah.
Aliran kedua,
ahl al-hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran
ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Quran atau hadits yang
menerangkannya. Di antara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124
H./741 M.), dan Nafi’ Maula Abdullah ibn Umar (w. 117 H./735 M.) yang keduanya
merupakan guru imam Malik ibn Anas (w. 117 H./735 M.).
Pada masa
ini dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti.
Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid-mujtahid fiqh. Ketika akhir masa
Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni Imam Abu Hanifah di Irak (lahir
80 H./699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah (lahir 96 H./714 M.),
sedangkan Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasiyah.[28]
Di antara
jasa dinasti Umayah dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung, adalah
menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu
dalam tahap perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di
masjid diajarkan beberapa macam ilmu, di antaranya syair, sastra, kisah-kisah
bangsa dulu, dan teologi dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian,
periode antara permulaan abad kedua hijriah sampai akhir abad ketiga hijriah
merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang.[29]
Pendidikan
Islam Masa Dinasti Abbasiyah [132-656 H./750-1258 M.]
Charles
Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan
sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang-orang
yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan
hukum,[30] bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan
yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan seutuhnya,
terutama, ketika dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan madrasah
al-mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara melakukan
kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah itu, bahkan
juga melakukan investigasi metode pengajarannya.[31] Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan
negara (state) menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh
lembaga-lembaga pendidikan di kalangan masyarakat luas.
Sekedar
untuk menetralisasi perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih
ditujukan pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab.
Sebab, sistem pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan madzhab fiqh, teologi, atau
kepentingan politis. Bahkan, dalam tradisi pendidikan klasik, madrasah itu
dibangun atas dasar wakaf seseorang yang dalam kebiasaannya memang menargetkan
tujuannya masing-masing.[32]
Menurut
Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha,
dalam tesisnya menyebutkan tujuh ‘lembaga’ pendidikan yang telah berdiri pada
masa Abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 Hijriyah. Ketujuh lembaga itu
adalah [a] lembaga pendidikan dasar [al-kuttab], [b] lembaga pendidikan
masjid [al-masjid], [c] kedai pedagang kitab [?], [al-hawanit
al-waraqin], [d] tempat tinggal para sarjana [manazil al-‘ulama],
[e] sanggar seni dan sastra [al-shalunat al-adabiyah], [f] perpustakaan
[dawr al-kutub wa dawr al-‘ilm], dan [g] lembaga pendidikan sekolah [al-madrasah].[33] Semua ‘institusi’ itu memiliki karakteristik
tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun demikian, secara umum,
seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama,
tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar,
serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan
sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab.
Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan
perpustakaan, seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-‘ulum di Kairo.
Pada tingkat
pertama, yakni tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang diajarkannya meliputi
[a] membaca al-quran dan menghafalnya, [b] pokok-pokok agama Islam, seperti
wudlu, shalat, dan puasa, [c] menulis, [d] kisah orang-orang yang besar, [e]
membaca dan menghafal syair-syair, [f] berhitung, dan [g] pokok-pokok nahwu dan
shorof alakadarnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak dapat
dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah terkadang berbeda.
seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di Maroko
(Maghribi) hanya diajarkan al-Quran dan rasm (tulisan)nya. Di Andalusia,
diajarkan al-Quran dan menulis serta syair, pokok-pokok nahw dan sharf serta
tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan al-Quran, hadits
dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan al-Quran.[34]
Waktu
belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar
mulai hari Sabtu sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari
libur. Selain hari Jum’at, hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan
tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama,
pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran
menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak
diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain,
seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai setelah
Zhuhur hingga akhir siang [Ashar].[35] Pada tingkat rendah ini, tidak menggunakan
sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar
murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga tidak ada
standar buku yang dipakai.
Pada jenjang
pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan.
Artinya, guru mengulang-gulang bacaan al-Quran didepan murid dan murid
mengikutinya yang kemudian diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan, hafalan
ini tidak terbatas pada materi-materi al-Quran atau hadits, tetapi juga pada
ilmu-ilmu lain.[36] Tak terkecuali untuk pelajaran syair, guru
mengungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid
mampu menghafalkannya dengan cepat.[37]
Pada jenjang
pendidikan menengah disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut. [a]
al-Quran, [b] bahasa Arab dan kesusasteraan, [c] fiqh, [d] tafsir, [e] hadits,
[f] nahw / sharf / balaghah, [g] ilmu-ilmu eksakta, [h] mantiq, [i] falak, [j]
tarikh, [k] ilmu-ilmu kealaman, [l] kedokteran, [m] musik.[38] Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum
jenjang pendidikan menengah dibeberapa daerah juga berbeda.
Menurut
Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang
bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran dibedakan
menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang keagamaan [al-manhaj
al-diniy al-adabiy] yang diterapkan pada materi-materi berikut: [a] Fiqh [‘ilm
al-fiqh], [b] tata bahasa [‘ilm al-Nahw], [c] teologi [‘ilm
al-kalam], [d], menulis [al-kitabah], [e] Lagu [‘arudh], [f]
sejarah [‘ilm al-akhbar terutama tarikh]. Kedua metode pengajaran
bidang intelektual [alm manhaj al’ilmiy al-adabiy] yang meliputi
olahraga [al-riyadhah], ilmu-ilmu eksakta [al-thabi’iyah],
filsafat [al-falasafah], kedokteran [thibb], dan musik yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan
yang lain.[39]
Jenjang
pendidikan tingkat tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga
pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua
fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra
Arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: [a] Tafsir al-Quran, [b] Hadits,
[c] Fiqh dan Ushul al-Fiqh, [d] Nahw / Sharf, [e] Balaghah, [f] bahasa dan
satra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah [filsafat]. Fakultas ini
mempelajari ilmu-ilmu berikut: [a] manthiq, [b] ilmu-ilmu alam dan kimia, [c]
musik, [d] ilmu-ilmu eksakta, [e] ilmu ukur, [f] falak, [g] ilmu-ilmu teologi,
[h] ilmu hewan, [i] ilmu-ilmu nabati, dan [j] ilmu kedokteran.[40] Semua mata pelajaran ini diajarkan di
perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu.
Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasarkan
bakat dan kecenderungan masing-masing sesudah praktek mengajar beberapa tahun.
Hal ini dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya Thabaqat
athibba, bahwa setelah Ibn Sina menamatkan pendidikan tingkat menengah
dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca
mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian
ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah
(metafisika) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina mendapat
kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al- Amir, seperti
buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya.
Literatur-literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia
selesai studi disana dalam usia 18 tahun. Hal ini seperti berlaku juga kepada
orang lain.[41]
Metode yang
dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah. Guru
duduk diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan
materi kepada semua mahasiswa yang hadir. Jumlah mahasiswa yang mengikuti
tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru itu ulama besar dan mempunyai
kredibilitas intelektual maka para mahasiswanya banyak. Akan tetapi, jika
sebaliknya niscaya sepi dari para mahasiswa, bahkan mungkin jadi halaqah-nya
ditutup.
Menurut
Charles Michael Stanton, sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu
menyususn ta’liqah. Ta’liqah ini memuat silabus dan uraiannya
yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan
perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang
materi yang bersangkutan. Ta’liqah mengandung rincian-rincian materi
pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa
menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul
menyalin. Akan tetapi, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan ta’liqah
ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ta’liqah nya merupakan
refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya.[42]
Menurut
Hasan ‘Abd al-‘Al, metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang tingkat
tinggi ini meliputi metode-metode sebagai berikut. Pertama, metode
ceramah [al-muhadlarah]. Dalam metode ini, guru menyampaikan materi
kepada semua mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap
apa yang dikatakannya. Pada metode ini, terbagi menjadi dua cara, metode dikte
[al-imla] dan metode pengajuan kepada guru [al-qiraat ‘ala al syaikh
aw al-‘ardl]. Kedua, metode diskusi [al-munadzarah].
Metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang diajukan
sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mu’tazilah menjadi salah satu
pilar yang sangat penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode
koresponden jarak jauh [al-ta’lim bi al-murasilah]. Metode ini merupakan
salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu
masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan
jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah.
Metode in dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara
berkelompok dengan cara mendatangi guru dirumahnya—yang biasanya jarak
jauh—untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yang didatangi biasanya adalah
guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.[43]
Mahasiswa
yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus
ujian dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah.
Ijazah terkadang dalam bentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah ini tidak
diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan diberikannya
ijazah berarti yang bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan
pelajaran kepada mahasiswa yang lain.[44]
PENUTUP
Sebuah
Catatan Akhir
Uraian
diatas sesungguhnya telah memperlihatkan bahwa pendidikan Islam pada masa
klasik memiliki karakteristik masing-masing. Karakteristik itu agaknya
dipengaruhi oleh tujuan pendidikan pada masanya. Pada masa Nabi hingga Bani
Umayyah, misalnya, terlihat adanya tujuan pendidikan untuk kepentingan
keagamaan, sehingga materi pendidikannya pun adalah berkisar pada
masalah-masalah keagamaan an sich. Sedangkan pada masa Abbasiyah yang
wilayah kekuasaan Islam semakin jauh dan problematika serta perkembangan
peradabannya yang cukup tinggi, tujuan pendidikannya tidak hanya sekedar untuk
kepentingan keagamaan semata, tetapi juga tampaknya memiliki kepentingan lain,
seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan kelompoknya.
Pergeseran
dibidang metode disebabkan oleh karena bermacam-macamnya disiplin ilmu
pengetahuan yagn menuntut metodologi pengajaran yang lebih efektif. Tentu saja,
materi-materi keagamaan akan menggunakan metode yang berbeda dengan
materi-materi eksakta. Pada masa awal, karena materi yang dikenal relatif
sedikit maka metodenya pun lebih terbatas jika dibandingkan dengan pendidikan
pada masa Abbasiyah.
Secara umum,
sistem pengelolaan pendidikan pada masa klasik tampaknya lebih ditentukan oleh
kekuatan ulama [orang yang memiliki komitmen intelektual] daripada kekuatan
negara [orang yang memiliki kekuasaan]. Baik pada masa Nabi maupun hingga pada
masa Abbasiyah, para tokoh agama memiliki otoritas untuk menentukan sistem
pendidikannya. Hal ini berlainan ketika sistem pendidikan yang digunakan adalah
sistem madrasah. Pada madrasah, biasanya yang mempunyai otoritas kekuasaan
dalam pengelolaan pendidikan adalah penguasa atau orang yang memberikan harta
wakafnya. Wa Allah A’lam bi al-Shawab.
[1] Baca Hasan Langgulung, Pendidikan Islam
Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1998), cet. Ke-1,
h.4-5.
[2] Untuk membuktikan bahwa konsep-konsep
kependidikan Islam klasik lebih banyak memprioritaskan kepada guru dapat
dilihat pada beberapa literatur pendidikan Islam klasik, seperti Ibn Sahnun (w.
973 H./ 1274 M.), dalam karyanya Kitab Adab al-Mu’allim, Ikhwan al-Shafa
dalam Adab al-Mu’allimin wa rasail Ukhra fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, al-Zarnuji
dalam Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum, al-Sam’ani dalam Adab
al-Imla wa al-Istimla, Ibn Jama’ah ( 639-733 H. / 1241-1333 M.) dalam Tadzkirat
al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim, dan lain-lain.
[3] Dalam sistem pendidikan modern, eksistensi
kurikulum sangat niscaya. Bahkan, lembaga pendidikan formal modern akan
dianggap janggal jika tidak mempunyai kurikulum yang jelas. Kurikulum ini
terdiri dari komponen-komponen tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Lihat
Burhan Nurgiantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah
Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPFE, 1988), cet. Ke-1, h.
9-11. Sungguhpun demikian pada lembaga pendidikan informal, seperti pesantren,
keberadaan kurikulum biasanya kurang mendapat perhatian secara serius.
[4] Marshall G.S. Hodgson membagi sejarah Islam
menjadi tiga periode. Pertama, periode klasik. Periode ini dimulai sejak
lahirnya Islam (670-an M.) hingga runtuhnya tradisi pemerintah absolut (945
M.). Kedua, periode pertengahan. Periode ini dimulai sejak pertengahan
abad ke kesepuluh ( 945 M.) hingga abad kelima belas ( 1503 M.), yakni ketika
kemajuan belahan dunia Barat seimbang dengan kemajuan dunia Timur dan tumbuhnya
peradaban internasional. Ketiga, periode modern. Periode ini dimulai
sejak abad kelima belas, ketika kerajaan Islam terwakili oleh tiga kerajaan
besar: Safawi di Persia, Mughal di India, dan kerajaan Turki (ottoman) di
Turki, hingga sekarang. Baca Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience
and History in a World Civilization, (Chicago: The University of Chicago
Press, 1977), volume 1-3.
[5] Lihat babakan sejarah Harun Nasution pada Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press, 1985, cet.
Ke-5, h. 56-91.
[6] Ibid., h. 80.
[7] Surat-surat yang diturunkan ketika Nabi
sebelum hijrah ke Madinah ini kemudian disebut dengan nama surat
Makiyyah.
[8] Kedua terminologi ini sengaja dibedakan,
mengingat keduanya memiliki konsentrasi yang berlainan. Istilah sunnah lebih
diarahkan pada etika, perilaku, dan keadaan Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan
sehari-hari, sedangkan istilah hadits lebih ditujukan pada dimensi
ucapan-ucapan Nabi, bersifat oral. Untuk informasi lebih lanjut baca M. ‘Ajaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, tth).
[9] Teori asal usul kuttab memang masih
diperdebatkan. Menurut Asma Hasan Fahmi, lembaga pendidikan kuttab ini
didirikan oleh orang Arab pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Baca Asma Hasan
Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Ibrahim Husein, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang , 1997), cet.
ke-1, h.30. Sementara menurut Ahmad Syalabi, kuttab telah hadir sebelum
Islam datang, tetapi ketika itu masih belum terkenal. Lihat Ahmad Syalabi,
“Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Muchtar Jahja dan M.
Sanusi Latief, sedjarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), cet. ke-1, h ke 33.
[10] Menurut Johannes Pedersen, masyarakat Hira
telah memiliki kepintaran dalam bidang aksara dan syair Arab. Uraian lebih
lanjut dapat dibaca pada Johannes Pederson, “The Arabic Book”, diterjemahkan
oleh Alwiyah Abdurrahman, Fajar Intelektulisme Islam: Buku dan
Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, (Bandung Mizan, 1996), cet.
ke-1, terutama bab I.
[11] Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa
‘guru besar’ kuttab di Thaif adalah Yusuf al-Tsaqafi Abu al-Hajjaj. Akan
tetapi, pendapat ini ditentang dengan pendapat yang lain. Baca Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), cet. ke-2, h. 19-20.
[12] Ke-17 orang itu adalah [1]Umar ibn Khathab,
[2] ‘Ali ibn Thalib, [3] ‘Usman ibn ‘Affan, [4] Abu ‘Ubaidah ibn Jarrah, [5]
Thalhah, [6] Yazid ibn Abu Sufyan, [7] Abu Huzaifah ibn ‘Utbah, [8] Hatib ibn
‘Amr, [9] Abu Salamah Abd al-Asad al-Makhzumi, [10] Aban ibn Sa’d ibn al-‘Ash
ibn Umaiyah, [11-12] Khalid ibn Sa’d dan saudaranya, [13] Abdullah ibn Sa’d bin
Abu Sarh al-Amiry, [14] Huwaithib ibn ‘Abd al-‘Uzza, [15] Abu Sufyan ibn Harb,
[16] Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dan [17] Juhaim ibn Shalt. Baca ibid.
[13] Kelima wanita itu adalah [1] Hafsah, isteri
Nabi, [2] Ummi Kalsum bint ‘Uqbah, [3] ‘Aisyah bint Sa’d, [4] al-Syifa bint
‘Abdullah al-‘Adawiyah, [5] Karimah bint al-Miqdad. Sedangkan siti ‘Aisyah dan
Ummi Salamah, isteri Nabi, pandai membaca tetapi tidak dapat menulis. Ibid.
Lihat Munir Mursiy, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi
al-Bilad al-‘Arabiyah, (Kairo:’Alam al-Kutub, 1977), h. 3.
[14] Lihat ibid.
[15] Baca ibid., h. 16-19. Hasan
Langgulung memberikan keterangan bahwa ilmu-ilmu yang berkembang ketika itu
adalah ilmu tafsir, qiraat, fiqh, qadla, (kehakiman), faraid, dan
ilmu hadits. Baca Hasan Langgulung, op.cit., h. 6. Menurut Muhammad
Munir Mursiy, paling tidak ada tiga kelompok pengetahuan yang diketahui oleh
masyarakat Arab masa jahiliyah, yakni pertama, ilmu-ilmu humaniora, sejarah,
dan agama; kedua ilmu meramal mimpi; ketiga ilmu perdukunan. Baca Muhammad
Munir Mursiy, op.cit., h. 2-3.
[16] Ibid., h. 25-30.
[17] Asma Hasan Fahmi, op.cit., h. 30.
[18] Mahmud Yunus, op.cit, h. 39
[19] Metode sorogan dalam dunia pesantren
biasanya dilakukan kepada para santri yang masih memerlukan bimbingan dari para
gurunya secara individual. Metode ini merupakan bagian yang sangat sulit dari
sistem pendidikan Islam tradisional, karena sistem ini menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Baca Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet.
ke-4, h. 28.
[20] Mahmud Yunus, op.cit, h. 39-40
[21] Ibid., h. 33
[22] Pengertian ini dapat
dipahami dari instruksi Umar ibn Khathab
yang sangat terkenal, yakni أما بعد فعلموا
أولادكم السباحة والفروسية ورووهم ما سار من المثل وما حسن من الشعر) ) Baca
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha, (Beirut:
Dar al-Fikr, tth.), h. 2
[23] Mahmud Yunus, op.cit, h. 40.
[24] Untuk mengetahui lebih lanjut polemik ini
dapat dibaca pada Harun Nasution , Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. ke-5, h.
1-11.
[25] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, “al-Tarbiyah
al-Islamiyah”, diterjemahkan oleh Bustami A. Ghanidan Djohar Bahry, Dasar-dasar
pokok pemikiran Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-7, h.
72-73.
[26] Baca Franz Rosenthal, The Classical
Heritage in Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1975), h. 3.
[27] Ada beberapa teori yang membahas penyusun
ilmu nahwu, misalnya al-Anbari menyatakan penyusun ilmu nahwu adalah Imam Ali
ibn Abi Thalib, sementara pendapat lain adalah Nashr ibn ‘Ashim al-Laits, Abd
al-Rahman ibn Hurmuz dan Abu al-Aswad al-Duali. Mengenai perbincangan ini dapat
dibaca pada Muhammad Thanthawi, Nasy’at al-Nahw wa Tarikh Asyhur al-Nuhat, (ttp:
Dar al-Manar, tth.), h. 11-17.
[28] Lihat Munawwar Chalil, Empat Biografi
Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989).
[29] Hasan Langgulung, op.cit., h. 9.
[30] Penilaian Stanton ini sesungguhnya didasarkan
pada pendapat al-Zamuji dalam karyanya Ta’lim al-Muta’allim. Selanjutnya
lihat Charles Michael Stanton, “Higher Learning in Islam: The Classical Period,
A.D. 700-1.300”, diterjemahkan oleh Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan
Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1, hal. 52.
[31] Hisham Nashabe mengkaji secara serius kasus
Madrasah al-Mustanshiriyah ini. Untuk lebih jelas baca Muslim Educational
Institution: a General Survey Followed by a Monografic Study of al-Madrasah
al-Mustansiriyah in Baghdad, (Libanon: Libraire du Liban, 1989), h. 135.
[32] Mengenai sistem wakaf dalam pembangunan
madrasah dapat dibaca pada Charles Michael Stanton, op.cit., h. 41-45.
[33] Baca Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah
al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi,
tth.), h. 181-219.
[34] Baca ibid., h. 133-134.
[35] Lihat Mahmud Yunus, op.cit, h. 50-51.
Bandingkan dengan pendapat tokoh pendidikan seperti Badr al-Din Ibn Jama’ah, Tadzkirat
al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1354 H.), h. 73.
[36] Baca Hasan ‘Abd al-‘Al, op.cit. h.
149-150
[37] Ibid, h. 152.
[38] Mahmud Yunus, op.cit., h. 55-56
[39] Hasan ‘Abd al-‘Al, op.cit., h. 140-141.
[40] Mahmud Yunus,op. cit. , h. 57-58
[41] Ibid, h. 58-59.
[42] Lihat Charles Michael Stanton, op.cit.,h.
54
[43] Baca lebih lanjut Hasan ‘Abd al-‘Al, op.cit.,
h. 152-156.
[44] Ibid., h. 143-144. Lihat juga Albert
Hourani, A History of the Arab Peoples, (Cambridge: The Belknap Press of
Harvard University Press, 1991), h. 163-166.
No comments:
Post a Comment